Mengapa bagi saya kata sifat “percaya” harus diikuti dengan kata kerja “mempercayakan”. Banyak hal dalam hidup telah mengajarkan dan menunjukkan bahwa kedua hal ini tidak seharusnya dipisahkan. Lihatlah betapa para penitip sepatu itu sejak awal percaya kepada petugas sepatunya dan dia mempercayakan sepatunya untuk dititipkan. Alhasil, dia tidak perlu khawatir dan memikirkan bagaimana nasib sepatunya ditangan orang lain itu. Ada sikap mempercayakan yang membuatnya yakin bahwa barang yang dia titipkan akan baik-baik saja.
Dalam konteks hubungan manusia dengan Allah sebagai Maha Pencipta. Hal ini menjadi sebuah renungan yang baik. Bahwa banyak diantara kita masih sebatas percaya kepada Allah tapi tidak mempercayakan hidup kita kepada-Nya. Kita mempertanyakan dan mengkhawatirkan banyak hal dalam hidup yang sebenarnya apabila kita mampu mempercayakan hidup kita kepada-Nya. Kita akan baik-baik saja dan kita akan selamat.
Mengapa saya berani mengatakan bahwa banyak orang yang percaya kepada Allah namun tidak berani mempercayakan. Lihatlah betapa banyak orang menyanksikan masa depannya mengenai urusan jodoh (misal), percaya jika orang baik akan bertemu dengan orang baik, namun sedikit yang mempercayakan mengenai hal itu. Maka ramailah orang-orang tersebut bermain perasaan dengan berdekat-dekat secara intens (pacar*n) kepada orang lain. Ketakutan tentang kalau tidak begitu (pcran) nanti tidak dapat-dapat jodoh (pikiran masyarakat umum).
Ya día percaya kepada-Nya, namun dia tidak bisa mempercayakan hidupnya kepada-Nya. Pun dalam urusan lain-urusan lain yang begitu banyak dalam hidup ini, kita baru pada sebatas percaya kepada Allah. Percaya bahwa Dia ada. Namun kita banyak mempertimbangkan ketika ingin mempercayakan hidup kita kepada-Nya. Banyak kekhawatiran, banyak asumsi, banyak spekulasi, banyak syarat yang kita buat.
Dan ketika apa yang Allah berikan ternyata tidak sesuai dengan harapan/ekspektasi kita, maka kita mulai mundur satu langkah dari sikap-mempercayakan dan berakibat pada turunnya tingkat kepercayaan kita kepada-Nya dalam hal-hal yang lain.
Mari kita sama-sama koreksi diri, jika kita sudah mengakui percaya kepada Allah. Sejauh mana kita bisa mempercayakan hidup kita ini di tangan-Nya. Tentang masa depan kita, tentang jodoh kita, tentang hal-hal yang sampai saat ini mengganggu pikiran kita dan membuat kita tidak tenang menjalani hidup.
isa dibayangkan dalam cerita diatas, seandainya para pemilik sepatu sudah menitipkan barangnya dan ternyata tidak memiliki sikap mempercayakan sepenuhnya. Maka bisa jadi ketika shalat dsb, dia tidak akan khusuk karena terus kepikiran dengan sepatunya : apakah tidak apa-apa, apakah tidak akan dibawa oleh orang tadi, apakah tidak dirusak, bagaimana bila lecet, atau bagaimana bila hilang.
Kekhawatiran kita dalam hidup mirip seperti itu. Sudahkan kita mempercayakan hidup kita kepada Allah. Dan sejauh mana kita sudah berikhtiar untuk hidup kita. Allah menjamin banyak hal dalam hidup, dan kita diminta untuk berikhtiar dengan sebaik-baiknya.
Ketika kamu percaya untuk menitipkan sepatumu, dan kamu memiliki sikap mempercayakan. Penjaga sepatu ini akan senang dan dia hanya ingin kamu bisa shalat dengan khusuk dan tenang tanpa memikirkan tentang sepatumu sama sekali. "Shalatlah dengan tenang, aku akan menjaga sepatumu ini dengan baik serta menjaminnya. Aku akan memberikannya jika kamu sudah selesai shalat", mungkin seperti itu bahasa yang dikatakan oleh penjaga sepatu.
Allah akan memberikan jawaban-jawaban atas sikap mempercayakan kita kepada-Nya. Allah menyukai hamba-Nya yang berserah diri, berserah diri adalah bentuk kata lain dari mempercayakan hidup sepenuhnya tanpa keraguan sedikitpun pada sesuatu yang kita percayai. Ikhtiarkan hidup kita sebaik-baiknya dan titipkan hidup kita ini kepada-Nya.
Kekhawatiran kita dalam hidup mirip seperti itu. Sudahkan kita mempercayakan hidup kita kepada Allah. Dan sejauh mana kita sudah berikhtiar untuk hidup kita. Allah menjamin banyak hal dalam hidup, dan kita diminta untuk berikhtiar dengan sebaik-baiknya.
Ketika kamu percaya untuk menitipkan sepatumu, dan kamu memiliki sikap mempercayakan. Penjaga sepatu ini akan senang dan dia hanya ingin kamu bisa shalat dengan khusuk dan tenang tanpa memikirkan tentang sepatumu sama sekali. "Shalatlah dengan tenang, aku akan menjaga sepatumu ini dengan baik serta menjaminnya. Aku akan memberikannya jika kamu sudah selesai shalat", mungkin seperti itu bahasa yang dikatakan oleh penjaga sepatu.
Allah akan memberikan jawaban-jawaban atas sikap mempercayakan kita kepada-Nya. Allah menyukai hamba-Nya yang berserah diri, berserah diri adalah bentuk kata lain dari mempercayakan hidup sepenuhnya tanpa keraguan sedikitpun pada sesuatu yang kita percayai. Ikhtiarkan hidup kita sebaik-baiknya dan titipkan hidup kita ini kepada-Nya.
Hingga pada suatu saat kamu benar-benar bisa mengatakan: “Aku telah mempercayakan hidupku kepada Allah, aku tahu dia adalah sebaik-baik penjaga dan sebaik-baiknya dalam menepati janji”
Bandung, 27 September 2013 . Kurniawan Gunadi
No comments:
Post a Comment