Kalau dua tahun yang lalu ditanya:
“Habis kuliah mau apa?”, saya pasti jawab: “Sekolah lagi kalau bisa, meskipun saya juga harus bekerja ”. Nyatanya, hidup
nggak segampang menulis motivation letter, dapat beasiswa
keluar negeri, dan posting foto jalan-jalan seantero negara Eropa setiap
minggunya.
Ketika wawancara untuk masuk S2 di salah satu perguruan tinggi, teman
saya pernah ditanya kenapa dia ingin melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih
tinggi, yang berakhir dengan ceramah singkat berintikan: jangan
ambil kuliah S2 sebagai alasan untuk tidak bekerja/ketika kita tidak dapat
pekerjaan. Ada juga yang melihat peluang S2 sebagai ajang ‘cuci
nilai’. Ketika ijazah S1 kita tidak punya embel-embel cumlaude, atau IPK di
transkrip, ataupun cuma mentok di angka 2.xx/3.0x, ada urgensi untuk
memperbaiki diri. Alasannya mungkin karena kita tidak lagi harus berhadapan
dengan mata kuliah Kalkulus Dasar 1A atau karena kita sudah tahu ‘rahasianya’
dalam berkuliah. Intinya dimana ada kemauan, di sanalah ada jalan.
Setelah dipikir, meneruskan kuliah lagi bukan
perihal mudah. Memang sih, segampang itu dengar kisah sukses teman-teman dengan
beasiswa hebatnya, “Si ini dapet beasiswa ke sini lho”, “Si itu sebentar lagi
mau berangkat ke sana, lho”. Tapi kita juga harus tahu bahwa ada orang-orang
yang tidak sehoki itu dengan urusan beasiswa (walaupun ada yang bilang asal
surat-surat diurus dengan benar, besar kemungkinannya aplikasi beasiswa kita
diterima). Kuliah S2 pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit (jika pada
akhirnya kita memutuskan untuk kuliah dengan biaya sendiri). Di ITB sendiri,
kuliah S2 per semesternya sekitar + 8 juta
rupiah (yang katanya dibilang murah).
Bagi saya, walaupun tanpa uang masuk,
jumlah itu adalah 4x lipat dari uang semester D3 saya. Belum lagi dengan biaya
bulanan semacam kost atau uang makan. Yang artinya, kalau saya tidak berusaha
mencari beasiswa atau mencari kerja untuk menunjang keuangan saya, orang
tua/penanggung biaya kita harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk
setidaknya 1-2 tahun.
Beban lagi? Tentu.
Buat kamu yang mau melanjutkan kuliah di luar,
ada juga yang bilang, “Cari tambahan saja, gaji pencuci piring di luar negeri
sudah lumayan besar, kok.” Oh ya, silahkan. Kalau tidak pernah kerja keras dengan
pekerjaan ‘semacam itu’, nanti tidak ada yang bisa diceritakan ke anak cucu,
kan? Tapi ingat juga, kuliah itu intinya belajar, saya sudah cukup melihat
orang-orang dengan kondisi macam ini yang akhirnya menyerah di tengah jalan
karena tidak bisa membagi konsentrasi.
Mau magang ke organisasi sosial yang
lebih established? Sejauh yang saya tahu intern di
organisasi sosial di luar negeri itu kebanyakan tidak digaji. Organisasi sosial
lho, tau kan kenapa namanya sosial? Tapi memang kesempatan, pengalaman dan network yang kamu dapat pasti akan setimpal
dengan resiko yang harus dihadapi.
Belum lagi ketika kita harus bertarung dengan
anggapan, “Is it worthed?”
Untuk beberapa perusahaan, ada yang melihat gelar S2 sebagai jaminan untuk
lonjakan karir di masa depan. Bahkan katanya, kalau punya gelar S2 jabatan
manajer sudah pasti ada di depan mata. Walaupun, pendapat saya ini masih
berkisar di ‘katanya’. Organisasi idaman saya United Nation masih menggaris
bawahi kriteria second degree university sebagai salah satu pertimbangan
rekruitmen.
Bahkan hanya untuk program internship, yang notabene tidak
digaji. Artinya, pendidikan tinggi masih dianggap jaminan untuk memperoleh
pekerjaan baik (yang sama artinya dengan gaji yang melambung). Tapi ada juga
perusahaan yang tidak memperhatikan tambahan kata Master di belakang nama kita
dan menetapkan bahwa kita sama saja dengan fresh graduate yang tidak punya pengalaman apa-apa
(dalam kasus kalau kita langsung melanjutkan pendidikan setelah lulus). Yang
berujung pada, buat apa dong lanjut kuliah kalau hasilnya sama saja.
Sama halnya juga seperti offering kerja, kalau ada hal yang belum sreg
dengan keinginan kita, misalnya ingin kuliah di negara tertentu tapi biayanya
kurang memadai, ataupun dapat beasiswa di jurusan yang belum tepat, sebaiknya
jangan cepat-cepat memutuskan. Yang namanya salah jurusan, cukup menjadi kosa
kata jenjang Sarjana saja. Kalau bilang “Tapi kan sayang, sudah dapat di luar
nih!”, saya cukup percaya kesempatan pasti akan datang jika kita mau
mengusahakannya. Lebih sayang lagi bukan jika nantinya hal itu malah jadi
penghambat kita untuk meneruskan pendidikan.
Saya tidak
semata-mata nyinyir. Saya masih punya keinginan untuk punya gelar Master. Saya
selalu bangga dan kagum dengan teman-teman yang mampu meraih beasiswa ke luar
negeri, terlebih lagi yang MAU melanjutkan sekolah dan berkutat lagi dengan
buku diktat dan ujian. Tapi menurut saya, S2 bukan ajang keren-kerenan. Bukan
ajang bangga-banggaan. Tapi keinginan keras untuk mau menambah pengetahuan
dengan tujuan jelas, yaitu memanfaatkan ilmu yang didapat sebaik-baiknya. Menurut
saya, sayang jika jauh-jauh S2 di bidang perminyakan misalnya, tapi kita
berakhir menjadi bankir. Ataupun sayang jika mahal-mahal kuliah lagi di bidang
entrepreneurship tapi ketika pulang langsung dipinang dan menjadi ibu rumah
tangga tanpa punya usaha apa-apa. Ilmu-ilmu yang lebih berharga dari uang
sebesar apapun juga itu malah menguap tanpa dimanfaatkan dengan benar.
Kalaupun
sayang, tapi tenang saja, kita masih dapat pengalamannya kok (plus ratusan foto
facebook berlatar alam luar negeri) :P
Intinya, setelah
melewati fase
iri-liat-yang-lain-sekolah-lagi-dan-bisa-jalan-jalan-ke-luar-negeri, saya
justru menyarankan melanjutkan kuliah S2 yang amat sangat kepada:
1. Semua yang
punya dana lebih, baik itu dari orang tua maupun hasil mendulang emas setelah
beberapa tahun bekerja.
2. Semua yang
masih penasaran dengan suatu bidang kejuruan/ilmu dan ingin menerapkannya
dengan baik di masyarakat.
Batas kabur antara penting/tidaknya S2 itu
memang bergantung kepada masing-masing individu (ugh, klise). Apapun alasan
kita menginginkan kuliah lagi, pastikan memang ini yang benar-benar kamu
inginkan. Pikirkan juga, “Setelah ini apa?”. Ingatlah kata-kata Uncle Ben, “With great power, come great responsibility”.
Ilmu itu kekuatan yang sangat besar, lho.
Jangan
lupa juga masih ada juga yang namanya sekolah kehidupan. Sekolah dimana hal-hal
yang ada di buku tidak sepenuhnya terpakai. Sekolah dimana ada hal-hal kotor
yang ingin kita jauhkan dalam kehidupan berkeliaran di setiap langkah.
Saya
doakan yang terbaik untuk semua orang hebat yang tidak pernah berhenti belajar.
Berjanjilah untuk bisa membangun hal-hal besar di kemudian hari :)
No comments:
Post a Comment