Tuesday, 11 June 2013

Memancing Jiwa

Pikiranku yang kacau menjadi jernih ketika aku melihat tetesan air melayang dari saluran dan percikannya jatuh ke permukaan air dengan anggunnya. cahaya matahari mengubah percikannya menjadi ribuan warna cemerlang, untuk sesaat joran pancingku terasa seperti perpanjangan tanganku, bergerak dengan keanggunan dan irama yang masih harus aku pelajari di luar dunia air ini. kudengar sungai yang bergemericik dengan riang diatas bebatuan. dengarlah, pikirku. dengar dan pelajari.
Satu minggu sudah berlalu sejak pertama kali aku berdiri di sungai belajar memancing, dan sudah seminggujuga aku melewati masa masa dimana aku diterror seorang wanita yang terobsesi dgn tulisan hatinya mengalami sebuah pencemaran nama baik yang begitu terpublikasi, akhir hubungan seorang kekasih dan tenggelam dalam depresi berat mengingat janji-janji yang telah terucap sebelumnya "kamu adalah milikku", yang terlintas dipikiranku .namun tetap saja rasa takut untuk menjalani semua itu seorang diri terus mengganggu pikiranku, menjara rasa percaya diriku.


Namun, untuk sesaat hari itu sudah menjadi sebuah hari yang menakjubkan. memandang naik turunnya aliran sungai, aku dapat melihat hampir semua anggota keluargaku. dengan disinari cahaya matahari, aku melihat ayahku masuk ke dalam kolam tenang yang bersembunyi di balik bayangan tepi sungai. permukaan airnya diselimuti oleh serangga yang menari-nari, dan aku melihat kilasan cahaya keperakan yang menunjukkan adanya ikan trout yang naik untuk makan. aku merasa yakin bahwa ayahku akan segera menangkap ikan itu dgn alat pancingnya.


pikiran pikiranku mengalir di sepanjang permukaan sungai yang gemerlap, dan akhirnya berubah menjadi lamunan (seperti lazimnya) bayangan tentang masa kecil pada umur lima tahun berbaris didepan mataku. aku ingat pada suatu hari aku berhasil menyeret ikan yg lemas di tanah berlumpur dan memastikan bahwa semua orang dapat melihatnya. keberhasilan itu untuk pertama kalinya msh merupakan salah satu ingatan yg membuatku merasa seperti ‘jagoan’.


Baru-baru ini aku menyadari cerita di balik keberhasilanku itu. aku tak yakin apakah ayahku merasa kasihan padaku atau hanya ingin memberikan ’sensasi kemenangan’. yg jelas ia yang mengaitkan ikan itu dialat pancingku diluar sepengetahuanku. mungkin selama ini aku sudah tau.


Aku tersenyum bila mengenangnya, membayangkan tentang berapa lamanya aku akan duduk jika saja ayahku tidak ‘ikut campur’ mungkin cinta itu pulalah yg mendorong ayahku memunculkan keprihatinan ayahku akhir-akhir ini. Beberapa menit yang lalu ia baru saja menangkap  dan melepaskan kembali ikan trout tangkapannya dengan kedipan, senyuman, dan acungan jempol. namun aku dapat melihat keprihatinan dimatanya ketika dia melewatiku dan bertanya, ‘apakah kamu cukup beruntung, sayang?’ untungnya aku mengenal ayahku lebih baik daripada sungai ini, dan aku tau dia takut aku merasa kecewa kalau aku tidak berhasil menangkap seeokor ikam sore ini. ‘Jangan khawatir’ jawabku, tersenyum ‘Aku tidak harus menangkap seekor ikan untuk menjadi bahagia. aku selalu pulang dari sungai dgn membawa sesuatu dihatiku.’


Percakapan sungai dalam perjalanan pulang kerumah malam itu, aku berbicara dengan ayahku tentang kecintaanku terhadap sungai. Aku menjelaskan betapa aku ingin merasakan kembali rasanya menjadi ‘jagoan’. suara sungai bagaikan musik mengingatkanku akan irama alam yg abadi’ ujarku memulai. ‘aku mendengar keserasian dalam keseimbangan yang lembut antara sungai ini, pohon-pohon, dan serangga-serangga juga ikan yang makan disini’ aku mengambil nafas meneruskan ‘wah, kurasa sungai menyembunyikan rahasia dari segala macam misteri. misalnya saja hubungan dengan seseorang’ aku merasakan pipiku mulai memerah karena keterbukaanku 


Anggota keluarga, teman teman dan kekasih perlu mengerti…kapankah mereka harus bertahan dan kapan mereka harus melepaskan. Dia mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika aku meneruskan ‘Dunia ini dan semua yg ada di dalamnya tetap hidup dan bila saling percaya dan tumbuh bersama. akar-akar pohon dan sayap-sayap serangga. irama dari tangkai pancing, sungai, angin, semuanya berkesesuaian. Yang perlu kita lakukan hanyalah ‘mendengarkan’ aku melirik sekilas ke arah ayahku untuk mengetahui apakah ia dapat memahami pengembaraan batinku. ‘mungkin, ayah’ begitulah aku mengakhiri. 

‘aku baru saja menjadi dewasa dan akirnya bisa mendengarkan semuanya dengan lebih baik. bahkan kebijaksanaan masa lalu’ dengan airmata berlinang, dia menggenggam tanganku dan hanya berkata ‘ayah mengerti’

kemudian, sambil berbaring di kegelapan yg lembut dikamar tamu orang tuaku, aku berpikir tentang anugerah yg telah kuterima. Kututup mataku dan tersenyum bahagia.
Sejernih-jernihnya aku mengetahui bahwa diriku mengendalikan kesuksesan dan kebahagiaanku sendiri. aku tidak memerlukan ayah atau oranglain unuk memberikan kemenagna bagiku. di dalam hidup ini, aku akan sabar, tidak melawan arus, dan tumbuh menjadi ‘jagoan’ yg semakin tak terkalahkan setiap harinya. 
Seperti keanggunan dan irama memancing, aku akan membiarkan keajaiban sungai membuatku kuat.

Tulisan ini diadaptasi dari catatan teman saya Mayliza.
7:23 PM. Menyambut pulang dengan senyuman. Terima kasih Allah..

No comments:

Post a Comment